Mengapa Sipil Merasa Inferior Terhadap Militer?

Pagi ini saya membaca sebuah artikel di Kompas berjudul “Sipil Masih Merasa Inferior terhadap Militer”. Artikel ini sebenarnya membahas tentang peluncuran hasil survey dari sebuah NGO tentang peluang tokoh berlatar belakang militer dalam kancah politik indonesia. Pengamat politik J. Kristiadi dalam acara tersebut mengakui bahwa sistem pengkaderan dan pencetakan pemimpin dalam militer saat ini memang lebih baik dibandingkan yang dilakukan kelompok sipil.

Menurut saya, baik rekan-rekan yang berlatar belakang sipil atau militer, sebenarnya memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan kepemimpinan dan mempraktekan ilmu kepemimpinan dalam bidang kerjanya masing-masing. Namun, kesempatan yang diperoleh oleh rekan-rekan di militer lebih terprogram dan terarah dibandingkan rekan-rekan di sipil.

Rekan-rekan di militer memiliki kesempatan untuk sekolah/kursus lanjutan yang diselenggarakan secara terprogram, sedang rekan-rekan di sipil kesempatannya bervariasi tergantung institusi tempatnya bernaung. Kalau institusinya mempunyai perhatian terhadap pengembangan SDM, maka rekan-rekan di sipil bisa memperoleh kesempatan yang baik. Menjadi masalah kalau institusi tempatnya bernaung tidak ada program pengembangan SDM-nya. Meski bisa mencari pengembangan di luar, namun akhirnya sifatnya menjadi sporadis dan tidak terprogram.


Wawasan yang dikembangkan di militer juga memberi nilai tambah bagi rekan-rekan di militer. Karena dalam setiap kegiatannya, selalu ditanamkan bahwa kepentingan nasional di atas segalanya. Sedang rekan-rekan di sipil kadang tidak mampu menjelaskan kepentingannya. Kalaupun mampu menjelaskan kepentingannya, publik dapat dengan mudah curiga apabila latarbelakang aktivitasnya dianggap bertentangan dengan kepentingannya itu. Hal ini membuat publik dapat lebih mudah men-”cap” tokoh militer sebagai seorang nasionalis ketimbang terhadap tokoh sipil. Seorang nasionalis dianggap dapat berdiri di atas kepentingan semua golongan.

Dalam bekerja, rekan-rekan di militer selalu bersentuhan dengan kepentingan umum. Sehingga ketika menjadi pejabat negara, bagi mereka itu hanya penugasan baru saja. Nothing special. Sama-sama melayani kepentingan umum.

Sedang rekan-rekan di sipil tidak semua bidang pekerjaannya bersentuhan langsung dengan kepentingan umum. Bekerja kadang hanya untuk mengejar materi semata. Menjadi masalah ketika tokoh sipil yang dalam kesehariannya tidak pernah bersentuhan dengan kepentingan umum itu berniat menjadi anggota legislatif atau kepala daerah. Akibatnya, konsultan politiknya sibuk memberi “bedak” tebal-tebal agar terlihat menarik didepan publik, memberi “gincu” tebal-tebal agar kata-kata yang terucap dari bibirnya terdengar manis, dan memberi “parfum” sebanyak-banyaknya agar tercium wangi segala perbuatannya. Apa yang bisa diharapkan dari “pemimpin produk salon” seperti ini?

Sipil yang merasa inferior terhadap militer adalah sipil yang alpa dalam mempersiapkan diri untuk masuk ke wilayah publik. Bagi rekan-rekan di sipil yang berniat masuk ke wilayah publik, jangan lupa untuk terus mengembangkan diri melalui berbagai pelatihan atau pendidikan yang relevan. Tidak lupa juga untuk aktif dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan memiliki dua efek, yaitu menumbuhkan kepekaan terhadap kondisi sosial masyarakat dan meraih kepercayaan (trust) masyarakat yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Kalau sudah begitu, tidak perlu lagi ada perasaan inferior sipil terhadap militer.

(foto: http://www.gerbang.jabar.go.id)