Kayaknya Perlu Standarisasi Teknis Penulisan Resep, deh, Dok …

Pagi ini saya mengantar istri saya ke suatu seminar tentang penggunaan obat di FKUI. Kebetulan istri saya diminta untuk memberikan testimoni berkenaan dengan pengalaman penggunaan obat yang diresepkan dokter kepada anak kami.

Yang menarik pada seminar tersebut adalah kisah yang diceritakan oleh seorang dokter senior mengenai adanya kesalahan dalam membaca resep yang dituliskan dokter. Rupanya karena tulisan dokter tidak terbaca dengan jelas, apoteker keliru memberikan obat kepada pasien dokter itu. Akibatnya, ketika obat itu dikonsumsi, pasien tersebut menderita efek samping yang berkepanjangan akibat kesalahan pemberian obat tersebut.

Dalam suatu forum untuk meminta pertanggungjawabannya, dokter itu diminta membaca kembali resep yang diberikannya itu. Ternyata dokter itu sendiri tidak bisa membacanya! Ironis, bukan?

Hal itu bisa terjadi pada siapa saja. Padahal, siapa coba yang ingin terkena kejadian seperti itu? Oleh karena itu, saya pikir, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), atau pihak manapun yang berwenang untuk mengatur profesi dokter, perlu membuat standarisasi teknis penulisan resep.

Sederhana saja, misalnya dokter diminta agar menulis resep dengan mesin tik atau komputer. Apabila hal itu dianggap menyulitkan, resep bisa ditulis dengan tulisan tangan tapi dokter harus memastikan bahwa pasiennya dapat membaca tulisan tangan dokter tersebut. Dengan begitu, kejadian seperti yang dokter senior ceritakan di atas dapat diminimalisir.

Selain meminimalisir resiko, apabila masih terjadi peristiwa yang tidak diinginkan, posisi hukum dokter lebih meyakinkan, karena dokter telah melakukan upaya yang patut. Lebih-lebih apabila dokter telah menjelaskan dengan benar kegunaan dan efek samping dari obat-obat yang diresepkan kepada pasiennya. Dengan begitu, pasien punya dasar untuk menentukan apakah dia akan menebus seluruh atau sebagian dari obat-obat yang diresepkan tersebut.               

4 Comments

  1. Nyesel banget ga jadi ikutan acara seminar ini…. 😦
    Padahal pasti banyak banget manfaatnya…

    Memang masih banyak yang harus diperbaiki di sistem kedokteran di Indonesia. Kita sebagai pasien benar2 sebagai pasien, bukan konsumen yang punya hak untuk memilih dan mendapatkan informasi dengan lengkap dan benar.

    Mudah2an kondisi industri kesehatan di Indonesia menjadi lebih baik….

    -Puyer kok sampe 57 obat…yo opo rek….-

  2. Bahas dong kak dari sisi hukumnya klo bgitu…….bayangin anak2 jadi korban ketidaktahuan ortu akan isi resep…..duhh seramnya

    Aq jg menyaksikan dengan mata kepala sendiri pas apoteker bikin puyer, MENGERIKAN…

    Tumbuk2, sambil ngobrol, dibagi di kertas2 kecil en dengan tatapan mata sajahh..tidakkah perlu ditimbang dll dll….

    Ihhhh…yah kepnajangan……………

    Salam utk mba ade yah…miss herrr dehhhhhhhh reva jg, wira jg….kak ajo sih gak hueuehhhe….

  3. Hmmm, ngiri…coba suami saya juga bisa ikut dateng… pasti nggak capek bikin report cerita sampai di rumah hehehe…

    Sayang deh, walau kemarin sempet berharap banyak karena ada orang YLKI, si ibu tidak memberikan titik terang. Mungkin memang mereka nggak bisa berbuat sesuatu?

    Pelanggaran hak konsumen hukumnya gimana ya?

  4. Dokter,apoteker n pasien hrs krjasama biar gak salah obat.

    dah gak jaman lg dokter nulis gak jelas…


Comments RSS TrackBack Identifier URI

Leave a comment